Thursday, 23 February 2012

Rayap Yang Merayap

Kamis, 23 Februari 2012. Pukul 05.00 Wib

Ini adalah percakapan antara sepupu saya dengan tetangga saya, " ... iya, dari katulampa 2,8 katanya ... " Tahu katulampa itu apa? dulu saya juga tidak tahu apa itu katulampa, tapi untungnya sebulan yang lalu ketika curah hujan di Jakarta terbilang sedang tinggi-tingginya banyak media informasi ibu kota yang menginformasikan bahwa kemungkinan akan terjadi banjir. Nah, karena rumah saya ketika tahun 2007 terkena dampak tamu khusus ini, maka sayapun menjadi lebih perhatian jika ada berita mengenai banjir. Masih sebulan yang lalu juga, saya membaca artikel tentang Katulampa. Yaitu nama bendungan di Bogor yang mengalirkan airnya ke kali Ciliwung di Jakarta. Dari situlah saya baru tahu (walau dengan keterlambatan pengetahuan) bahwa katulampa adalah nama pintu air. Nah, karena udah tau Katulampa itu apa, akhirnya telinga saya menjadi sedikit sensitif, seperti tadi pagi. Akhirnya, karena takut akan musibah 2007 silam, saya merapikan kamar saya ditengah fajar yang masih berat untuk mengerjapkan sinarnya.


Alhamdulillah, cuma sedikit yang dirapihin (ini karena bingung mau ngerapihin apa). Iseng dan iseng mata saya jalan-jalan dan tertuju kelemari koleksi, koleksi buku. Dari buku SD sampai sekarang Kuliah. Dari yang buku Tulis sampai buku bacaan. Dari yang masih bagus mengkilap bau toko sampai yang sudah kehilangan covernya bahkan kehilangan setengah badannya, bahkan kertas-kertas yang sekedar hasil fotokopianpun rapih saya semayamkan disana. Lengkap, termasuk buku bimbingan sholat yang sekarang sudah terlupakan dan terselip tertidur diantara himpitan buku-buku raksasa yang lain. (jadi membayangkan ketika berdesak-desakan dikereta ekonomi, panas)


Pagi ini saya merasa sedih, saya seperti orang tuli yang tidak mendengarkan teriakan-teriakan keganasan yang menyiksa mereka (buku-buku), keganasan yang melusuhkan mereka, membuat mereka menjerit karena tercabik-cabik oleh serbuan monster kecil yang tak mampu mereka lawan. Mereka habis oleh koyakan monster-monster itu, yang hanya menyisakan bagian punggung mereka. Kuburan masal pun terpaksa dibuat pagi itu.

fr. google image
Tapi saya bersyukur karena hari ini tindakan monster itu telah terbongkar walau penuh keterlambatan, setidaknya, saya masih bisa meyelamatkan buku-buku kuliah yang masih saya gunakan. Tragedi ini terbongkar ketika saya bermaksud untuk iseng membaca buku-buku SD sebagai pelepas lelah beres-beres kamar, saya tarik untuk sekedar melepaskannya dari himpitan-himpitan buku raksasa yang ada disebelahnya. Tapi yang terjadi adalah, hanya bongkahan tulang buku yang berhasil saya dapat, saya coba ambil si raksasa yang ada disebelahnya. Tidak lebih baik dari buku pertama. Saya coba dengan tumpukan buku lantai (rak) tiga dan satu kondisinya tidak ada yang berbeda. HANCUR total. argh!!!

Dengan penuh rasa kesal kucoba lihat apa yang terjadi, ergh ....  RAYAP! rayap sedang berpesta pora disana, menghabiskan daging-daging bukuku yang masih bisa mereka lahap. Dengan terpaksa saya ambil karung dan membenamkan monster-monster itu bersama buku-buku yang telah hancur. Dan membuangnya dalam tumpukkan sampah.

Kupindahkan lemari buku, dan .... tak sanggup saya melihat, kawanan monster itu seolah menantang saya dengan berbaris dibawah lemari. Ini bahaya, karena lantai kamar saya adalah kayu (walaupun cukup tebal), setebal-tebalnya kayu jika dimakan rayap pastilah habis juga (oom, tante, ayah, ibu jangan membuat lantai atas dari kayu yah, walaupun itu hanya sekedar kamar tambahan ataupun untuk mengurangi beban rumah karena lantai beton memanglah berat).

Bergerak dalam membasmi monster-monster ini membuat waktu lewat dengan cepat, fajar yang telah bangkit dengan penuh gairah dan cerah tak terasa, telah berganti dengan sengatan mentari yang turut serta membakar emosi dalam jiwa. Kamar sudah bersih dan rapih, bersih atas lemari buku yang tergeogoti oleh rayap, tapi ada satu yang kurang, bagaimana membunuh rayap-rayap itu? akhirnya warung menjadi tujuan untuk mendapat senjata pamungkas, minyak tanah. Setelah didapat, saya siram lorong-lorong kehidupan si rayap, mungkin memang hari itu saya ditugaskan untuk menjadi perantara malaikat pencabut nyawa, mencabut nyawa para rayap itu.

Bekerja dengan penuh emosi (walau sedikit) ternyata bermasalah yah, minyak tanah yang saya siramkan sedikit demi sedikit ke tiap lorong kehidupan rayap itu ternyata merembes sampai kebawah.  Dan rembesan itu tepat menetes ke lampu TL, aduhh... sekarang yang saya takutkan adalah kebakaran. Saya takut jika lampu dinyalakan akan menimbulkan percikan api dan menimbulkan kebakaran. Semoga tidak, Lindungi kami dan tempat kami bernaung di bumi Jakarta-MU ini ya Allah. Amin.

Kegiatanpun berubah, menjadi membersihkan lampu. Semoga aman. amin.

Pelajaran:
Selalu periksalah dimana kamu menyimpan buku-bukumu. Jangan biarkan mereka menderita. Terhimpit lalu mati karena terkoyak. Karena jika mereka hilang, itu sama saja kita kehilangan investasi seumur hidup [seperti saya].

2 comments:

Monggo komennya tak enteni loh :)