Mata Najwa : Sarjana Semu

Tadi pagi, seorang teman tiba-tiba (karena gak biasa) nge-twit tentang mata najwa yang bahas keputusan DIKTI, yaitu tentang kewajiban pembuatan karya ilmiah. Untuk surat keputusannya bisa klik disini untuk membacanya, nah karena nggak nonton, sama temen yang nge-twit disuruh baca TL nya @matanajwa. Setelah saya buka ada tujuh catatan dari mata najwa.

Inilah Catatan Najwa…

1. Di negeri lain, riset ilmiah dan profesi peneliti didukung penuh negara. Di Indonesia dimulai dengan  kewajiban & pembiaran pemerintah.

2. Tak mungkin ada standar ilmiah, jika peneliti dan penulis dibiarkan lemah.

3. Percuma berlomba mendongkrak karya ilmiah, sementara gaji dosen tetap rendah.

4. Sudah tak heran,dinegeri penuh tambalan, kebijakanpun cenderung instan. Di negeri penuh ironi,apa yg gampang terpilih menjadi solusi.

5. Kebanggaran dan standar yang terburu-buru, hanya memunculkan harapan palsu.

6. Obsesi berlebihan terhadap gelar, hanya melahirkan sarjana penjiplak yang pintar.

7. Sebagaimana halnya kehidupan, memang tak ada yang mudah dalam pendidikan.

Saya setuju dengan ketujuh pont catatan Mata Najwa,

Waktu saya SMP (sampai sekarang sepertinya) saya pernah membaca sebuah artikel dikoran yang mengatakan para ilmuan Indonesia lebih senang di luar negeri, karena mereka lebih dihargai disana. Mereka pernah mencoba mengabdi di Indonesia tetapi tidak dianggap pemerintah.

Saya juga merasa gaji dosen memang rendah, kalau tinggi pasti dosen akuntansi saya tidak akan mengajar sampai di lima universitas demi mencukupi kebutuhan hidupnya. Tapi yang saya syukuri adalah, dosen saya ini jarang telat masuk kelas, pernah telat, tapi hanya sekali. Wajarlah. Saya juga pernah telat sekali dikelas dia.

Kuliah. Tujuan utama untuk meraih gelar memang tidak bisa dipungkiri, karena memang perusahaan di Indonesia melihat calon pegawai dari jenjang pendidikannya, bukan pengalamannya. Tidak semua memang, tapi minoritas, seputar perusahaan skala kecil - menengah yang memang sengaja untuk mengecilkan biaya operasional mereka. Karena karywan yang bukan lulusan S1 akan diberikan kompensasi yang lebih kecil. Hal ini membuat setiap individu mengalihkan fokus tujuan belajar mereka, bukan lagi untuk meraih ilmu yang mumpuni. Terbukti dengan menyelesaikan tugas sebagian besar akan bersumber dari satu sumber dan tidak segan untuk mengkopi isinya. Inipun terjadi pada saya. Terkadang hanya bersumber dari satu sumber dalam membuat makalah, sehingga tidak terelakkan akan menghasilkan tulisan yang sama, yang artinya sama saja mengkopi secara total. Bahkan yang lebih parah adalah, saya pernah ditawari seseorang untuk kuliah disebuah STIE yang bersedia memberikan ijazah (walaupun kata-kata si marketingnya memang tidak mengatakan demikian).

Sebagai mahasiswa, saya sendiri bingung bagaimana menanggapi dilema ini. Yang jelas adalah, lebih baik kita menjalankan apa yang telah diputuskan. Mendukungnya agar menjadi keputusan yang baik. Keputusan yang baik tidaklah terjadi ketika keputusan itu dicetuskan, tapi bagaimana timbal balik dari keputusan itu. Oleh karena itu, karena kita merasa keputusan tersebut terbilang tergesa-gesa alias instan, sebaiknya kita jadikan ke instanan itu sebagai semangat kita untuk membantu memperbaiki keputusan tersebut, jadi walaupun keputusannya dianggap kurang bagus, kita jadikan realisasinya menjadi bagus. Jadi nggak bobrok dari dua sisi. Buatlah satu sisi itu lebih kuat dari sisi yang lain, sehingga mampu menopang sisi yang lemah.