Kamis, 21 Maret 2013 lalu saya berangkat kuliah dari stasiun duren tiga dengan menggunakan kereta ekonomi, alhamdulillah kosong, jadi saya bisa duduk sehingga peningkatan grafik rasa lelah hari itupun sedikit melamban.
Ketika sedang menikmati hembusan angin yang menerobos manja melalui jendela-jendela kereta yang sudah usang, tiba-tiba kudengar ada seseorang yang sepertinya mengajak saya ngobrol. Secara reflek sudah pasti saya menengok ke arah kiri (sumber suara), dan ternyata, penampilan sumber suara membuat saya ragu untuk menjawab walaupun tak mungkin tak ku jawab, mengingat silaturahmi dapat dijalin dengan siapapun, tanpa berbatas ras, suku, agama, dan segala pengkastaan dalam hidup.
Kami saling bertukar nama sebagai tanda pekenalan, kusebutkan namaku dengan sedikit rasa takut yang sebelumnya kutanyakan terlebih dulu dengan mengatakan "maksudnya?", setelah dia menyakinkan hanya sekedar berkenalan baru kusebutkan nama dan dia menyebutkan namanya yang sudah pasti saya langsung lupa. Rasa takut merupakan intuisi paling dasar setiap manusia untuk menjaga dirinya agar memiliki jarak aman terhadap apa yang dianggap ancaman. Sebenarnya dalam penampilan teman baru saya tersebut tidak ada masalah, dia berpakaian rapih dan sangat, berpakaian muslim yang menunjukkan identitasnya sebagai muslim. Namun entah kenapa justru penampilannya yang membuat saya takut. Tidak hanya dia dan tidak hanya saya. Tidak hanya dia yang saya ragukan, tapi semua orang diluar yang berpakaian islami yang berusaha mengajak ngobrol saya. Tidak hanya saya yang mencurigainya, semua mata pasti menatap waspada kepada orang-orang yang berpenampilan seperti itu, entah wanita entah laki-laki. Ada apa sebenarnya? ada apa dengan kami? apa karena banyaknya kasus kekerasan yang mengatasnamakan Islam? Ya, paling tidak itu menurut saya alasan yang tepat untuk saat ini. Ketakutan akan dihipnotis, ditipu, diculik dan dicuci otak, semua silih berganti mengisi ruang kecurigaan didiri kita.
Sepanjang obrolan kucoba untuk menjawab dan menjalin keakraban sekaligus menenangkan diri agar kadar kecurigaan saya menurun. Bisa jadi Dia hanya ingin berdakwah, menyerukan sebuah kebaikan pada saya. Dan ternyata memang benar, dia hanya menyarankan saya untuk mengikuti taklim, ikutilah pengajian, seperti Dia yang saat itu hendak pergi ke masjid raya kebon jeruk untuk mengikuti sebuah tabliq rutin. Ketika kutanya kenapa sendiri, diapun menjawab, karena memang tak ada teman dan kebetulan dimasjid tersebut hanya diperbolehkan para lelaki yang hadir, dikarenakan acara tabliq yang selalu selesai pada penghujung pagi.
Sepanjang lintasan rel kereta yang saya tempuh, seakan tak cukup untuk mengurai kecurigaan saya, tak ada pemikiran positif saya yang berhasil menang untuk mengalahkan kecurigaan, ditambah beberapa pasang mata yang memang tertuju pada kami, berusaha tak peduli tapi akan selalu diperdulikan oleh ruang kecurigaan untuk mengisi ruangnya. Hingga terdapat satu kalimat dari teman baru saya yang cukup membuat saya sedih, yaitu "membicarakan agama itu asing". ya saya setuju dengannya, agama adalah hal asing untuk diperbincangkan.
Ketika sedang menikmati hembusan angin yang menerobos manja melalui jendela-jendela kereta yang sudah usang, tiba-tiba kudengar ada seseorang yang sepertinya mengajak saya ngobrol. Secara reflek sudah pasti saya menengok ke arah kiri (sumber suara), dan ternyata, penampilan sumber suara membuat saya ragu untuk menjawab walaupun tak mungkin tak ku jawab, mengingat silaturahmi dapat dijalin dengan siapapun, tanpa berbatas ras, suku, agama, dan segala pengkastaan dalam hidup.
Kami saling bertukar nama sebagai tanda pekenalan, kusebutkan namaku dengan sedikit rasa takut yang sebelumnya kutanyakan terlebih dulu dengan mengatakan "maksudnya?", setelah dia menyakinkan hanya sekedar berkenalan baru kusebutkan nama dan dia menyebutkan namanya yang sudah pasti saya langsung lupa. Rasa takut merupakan intuisi paling dasar setiap manusia untuk menjaga dirinya agar memiliki jarak aman terhadap apa yang dianggap ancaman. Sebenarnya dalam penampilan teman baru saya tersebut tidak ada masalah, dia berpakaian rapih dan sangat, berpakaian muslim yang menunjukkan identitasnya sebagai muslim. Namun entah kenapa justru penampilannya yang membuat saya takut. Tidak hanya dia dan tidak hanya saya. Tidak hanya dia yang saya ragukan, tapi semua orang diluar yang berpakaian islami yang berusaha mengajak ngobrol saya. Tidak hanya saya yang mencurigainya, semua mata pasti menatap waspada kepada orang-orang yang berpenampilan seperti itu, entah wanita entah laki-laki. Ada apa sebenarnya? ada apa dengan kami? apa karena banyaknya kasus kekerasan yang mengatasnamakan Islam? Ya, paling tidak itu menurut saya alasan yang tepat untuk saat ini. Ketakutan akan dihipnotis, ditipu, diculik dan dicuci otak, semua silih berganti mengisi ruang kecurigaan didiri kita.
Sepanjang obrolan kucoba untuk menjawab dan menjalin keakraban sekaligus menenangkan diri agar kadar kecurigaan saya menurun. Bisa jadi Dia hanya ingin berdakwah, menyerukan sebuah kebaikan pada saya. Dan ternyata memang benar, dia hanya menyarankan saya untuk mengikuti taklim, ikutilah pengajian, seperti Dia yang saat itu hendak pergi ke masjid raya kebon jeruk untuk mengikuti sebuah tabliq rutin. Ketika kutanya kenapa sendiri, diapun menjawab, karena memang tak ada teman dan kebetulan dimasjid tersebut hanya diperbolehkan para lelaki yang hadir, dikarenakan acara tabliq yang selalu selesai pada penghujung pagi.
Sepanjang lintasan rel kereta yang saya tempuh, seakan tak cukup untuk mengurai kecurigaan saya, tak ada pemikiran positif saya yang berhasil menang untuk mengalahkan kecurigaan, ditambah beberapa pasang mata yang memang tertuju pada kami, berusaha tak peduli tapi akan selalu diperdulikan oleh ruang kecurigaan untuk mengisi ruangnya. Hingga terdapat satu kalimat dari teman baru saya yang cukup membuat saya sedih, yaitu "membicarakan agama itu asing". ya saya setuju dengannya, agama adalah hal asing untuk diperbincangkan.
Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing.
Sabda Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya
Islam dimulai dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana
awalnya, maka thuuba (beruntunglah) orang-orang yang asing” (HR Muslim).
No comments:
Post a Comment
Monggo komennya tak enteni loh :)